Founder produk yang ber-base
di Yogya ini adalah Adinindyah. Tahun 20013 ia bekerja di NGO di daerah Sumba.
Nin dan tim melakukan pendampingan pada masyarakat. Ia me-arrange tenun ikat
Sumba menjadi produk fungsional seperti cover agenda. Sehingga tenun yang indah
itu sampai pada konsumen dengan harga terjangkau. Karena dipotong menjadi
kecil-kecil.
Nin, sebagai focal point
mempunyai dampingan masyarakat Sumba yang tinggal di pinggir hutan. Bagaimana
caranya agar masyarakat tidak merusak hutan dan mendorong mereka
mempunyai penghasilan. Tenun Sumba bagus
sekali sayang akses ke pasarnya tidak ada.
Perempuan dengan basic
arsitek tersebut, arrange tenun ikat menjadi barang kecil-kecil, seperti tempat handphone, tas. Orang yang
membeli tidak kemahalan. Bisa membuka lapangan kerja lagi untuk pengrajin yang baru.
Karena satu hal ia harus resign, tahun 2004 Nin pulang ke
Yogya, ia mulai mencari jangan-jangan ada PR yang sama dengan Sumba. Ia menemukan lurik,
problemnya pengrajin tidak bisa approach
pasar, bahan baku mahal, otomatis harga
menjadi mahal, dan keterbatasan desain. Pemasarannya tidak berkembang baik.
Officialy
Lawe
terbentuk Agustus 2004, Lawe artinya benang
untuk menenun. Lurik artinya garis-garis ada juga yang menterjemahakan sebagai
parit.
Jika dahulu orang banyak
mengenakan wastra khas jawa tengah
dan yogya ini, tahun 2000-an awal jarang terlihat yang mengenakannya. Keinginan
untuk melestarikan tradisi membuat Nin untuk conserving tradition tehadap Lurik, kain tradisonal punya Indonesia
juga. Lurik merupakan budaya rakyat
jelata.
Meski saat itu orang kebanyakan
jarang berpakaian lurik tetapi abdi dalem mengenakannya menjadi pakaian
sehari-hari. Hal itu ditetapkan Sultan untuk melestarikan kain tersebut. Bila
batik lahir di tengah kraton, lurik dari
rakyat. Tahun 70-an benang masih disubsidi oleh pemerintah. Harga kain murah,
orang banyak menggunakan. Selain untuk keperluan sehari-sehari seperti stagen,
surjan, menggendong tenggok (anyaman
dari bambu), jarik (kain panjang untuk sarung). Juga untuk upacara seperti
labuan, mitoni, ruwatan, siraman. Kain lurik sarat makna.
Lima tahun Nin dan empat
temannya struggling agar lurik dengan
bendera Lawe bisa diterima oleh konsumen. Meyakinkan konsumen bahwa lurik memang
layak digunakan.
Keren. Tulisan maupun isinya. Ternyata perlu teknik tersendiri ya menjaga agak luirk tetap awet.
ReplyDeleteMakasih Mak Icha sayang.
ReplyDeletecantik-cantk motifnya
ReplyDeletesuka terpukau dg budaya indonesia termasuk kain2nya
Lihat koleksi lurik Lawe bikin hati adem dan mupeng pengen beli semua nya, keren bgtt mba... tulisan nya
ReplyDeletemantap ulasannya jadi penisirin pgn punya produknya mba harganya ramah kantong jg lagi y mba keren 👍
ReplyDeletesalut dg program csrnya, memperdayakan kaum wanita, melestarikan budaya dan berusaha untuk tidak membuang bahan-bahan biar ga terlalu banyak sampah
ReplyDeleteAku juga suka banget lurik, mba. Wah mantap nih tulisannya
ReplyDelete