7/12/2021

Kapan Belajar Membaca yang Tepat untuk Anak-anak?



Tahun ajaran baru sebentar lagi dimulai. Pasti kebanyakan orang tua anak-anak yang akan masuk kelas 1 Sekolah Dasar sudah ancang-ancang, jauh-jauh hari agar anak bisa membaca. Atau ada yang masuk tim, santai aja.

Saya mempunyai anak tiga orang anak. Umur mereka selisih kurang lebih 4 tahun. Anak pertama 21 tahun, kedua 17 tahun, sedang paling kecil 13 tahun.

Tiga anak, pada usia balita mereka, kondisi pengetahuan Ibunya berbeda-beda. Pada, anak pertama saya belum tahu anak itu sudah siap atau belum ia belajar membaca. Persis seperti Ibunya belajar membaca. Dengan cara dieja, i-bu U bu.  Untuk anak pertama ini, usia dibawah 3 tahun sudah dikenalkan huruf malah. Pokoknya ia sedini mungkin diusahakan bisa membaca. Mindset saya waktu itu, kalau ia bisa membaca lebih cepat lebih baik. 

Sekolahnya juga dipaksakan, pada ia berusia 3 tahun. Bergabung dengan anak-anak diatasnya. Calistung.  Masya Allah. Kadang ia  menangis karena tidak mau sekolah tetapi Ibunya memaksa ia sekolah. Hanya karena tak ingin ia ketinggalan pelajaran. Sedih saya bila mengingat perilaku saya. Membaca buku tentang psikologi anak, tetapi tidak paham tahapan anak belajar.

Ia bisa membaca menjelang masuk SD. Menggunakan buku dari sekolah TKnya. Itu hari lahir bacanya. Jauh sebelumnya waktu kecil saya sering membacakan buku. Tiap mau tidur. Kadang ia minta sampai tiga buku. Baru satu buku, Ibunya membaca, sudah tertidur, sedang ia masih asik dengan bukunya.  Malu. Kelak, ketika ia pesantren SMP tidak boleh membawa handphone. Setiap boleh pulang  ke rumah. Ia mengajak ke toko buku. Ia pernah membeli buku setebal 400 halaman dan selesai membaca saat waktu luang di pesantren.

Anak kedua beda lagi. Ibunya sudah mulai paham. Tapi kadang masih memaksa. Ia saya panggilkan guru les membaca ke rumah. Kalau anak pertama lesnya menggambar, karena ia senang menggambar. Anak kedua tak bertahan lama les membaca, ia tipe anak yang tak bisa diam. Tidak bisa fokus. Ia masih butuh gerak.

Bisa baca ketika ia berumur hampir 5 tahun. Padahal ia  speech 
delay. Umur 4,5 tahun baru lancar bicara. Saya merasa berdosa dengan anak saya ini. Ia masuk TK umur 3 tahun sudah TK kecil karena ia ingin sekolah. Tapi kadang ia tidak mau sekolah. Saya paksa juga sekolah agar ia tidak ketinggalan pelajaran. Ma sya Allah anak sekecil itu, pelajaran seperti apa yang ketinggalan. Geleng-geleng kepala saya bila mengingat mindset dan perilaku saya. Tak paham kondisi anak. Saya tidak menanyakan pada anak, alasan tak mau sekolah. Sekarang saya sering minta maaf pada anak pertama dan kedua anak saya. Ibunya tak memahami mereka waktu usia keemasan mereka.

Anak kedua bisa membaca dengan cara, saya, suami dan kakaknya bermain kartu (flash card). Mengambil kartu lalu dibaca apa yang tertera. Anak kedua ini, awalnya tidak bisa membaca kata ada yang di kartu. Lama kelamaan ia mengidentifikasi huruf, merekam gambar, dan tulisan di bawahnya.  Jauh sebelum bisa membaca saya membaca buku untuknya. Kadang juga mendongeng. Ketika ia lancar bicara. Ia tak mau ibunya yang bercerita tetapi ia yang membuat cerita.

Ia ada riwayat kejang sebelum umur setahun. 2,5 tahun baru bisa berjalan. Saya membawa obat kejangnya sampai 5 tahun, saking parno-nya. Ia pernah dirawat demam berdarah lalu dokter anaknya observasi penyebab ia tidak bisa berjalan padahal sudah hampir 2 tahun. Ia TB tulang. Minum obat selama 18 bulan, tiap hari tidak boleh putus.

Ya Allah, kondisi waktu kecilnya seperti itu, kok saya memaksa ia untuk bisa membaca secara dini. Ya Allah. Istigfar yang banyak. Untungnya saya cepat sadar, mengubah cara belajar membacanya.

Anak ketiga. Sekolah TKnya menggunakan asesmen untuk masuk sekolah. Kesiapan ia sekolah pada usia 5 tahun tidak bisa langsung masuk TK B. karena banyak pertimbangan ia harus di TK A. Ternyata, membaca dan menulis ada tahapannya. Di sekolahnya tidak langsung belajar membaca dengan mengeja. Tetapi dengan cara meraba huruf , membuat huruf di udara, membuat huruf dengan badan dan sebagainya. Hal itu ada di TK A. Masuk SD juga ia harus asesmen.

Alhamdulillah saat 7 tahun ia bisa masuk SD. Belum bisa membaca. Sekolah tidak mewajibkan ia bisa membaca. Kelas 3 SD awal belum bisa membaca. Akhirnya ditelusuri dari badannya. Ditemukan di kepala, ada rambut putih dan benjolan. Akhirnya diangkat oleh dokter bedah. Biasanya anak lambat membaca karena ada gangguan di mata. Ada juga disleksia.

Saat kelas 3 SD ia baru bisa membaca. Guru melakukan observasi dan pelajaran tambahan dengan cara bermain. Di kelas, gurunya merahasiakan ia belum pandai membaca. Saya terharu sebegitunya guru menjaga harga diri anak. Padahal saya sebagai orang tua, pada anak pertama kedua, pernah melukai perasaan mereka.

Kondisi saya ketika mendampingi anak ketiga ini, saya sudah paham, hari lahir membaca itu berbeda pada masing anak-anak. Tak bisa dipaksakan. Pahami kapan ia siap membaca. Penting banget untuk tidak membandingkan anak. Setiap anak unik. Mempunyai kelebihan dan kekurangan. Masih jauh perjalanan hidupnya. Untuk mencap ia menjadi anak yang sukses dan tidak.  Lukislah masa kecil mereka dengan indah. Kelak akan terbawa di masa yang akan datang.

Benar, kakak-kakaknya sering bertanya pada saya mengapa adiknya tidak dipaksa belajar membaca seperti mereka waktu kecil. Jawaban saya, ibumu sudah move on. Sudah insyaf. Lagi-lagi saya minta maaf pada mereka. Juga, jangan dilakukan kelak pada anak-anak mereka.

Anak ketiga belajar membaca dengan cara tiap malam saya membacakan majalah anak-anak. Sebulan saya kerjakan ini, anak saya tertarik untuk bisa membaca. Ia juga yang minta. Umm, aku mau belajar membaca. Memang waktu kecil, ia jarang saya bacakan buku. Saran gurunya, ia les berenang. Saya lupa jawaban guru hubungan les berenang dengan belajar membaca. kalau tidak salah agar anak tahu arah ke kiri kanan. Hal ini lebih untuk kemajuan belajar menulisnya. Kekuatan lengannya untuk menulis. 

Sayang baru sekarang saya menemukan artikel di situs https://www.ibupedia.com/ . Coba saya mendapatkan pengetahuan dan pemahaman  yang tepat. Tentu tidak kejadian  pada  anak pertama dan kedua. Nah saya menemukan artikel tentang kesiapan anak belajar membaca di https://www.ibupedia.com/artikel/balita/9-cara-membantu-anak-belajar-membaca.

Dalam artikel tersebut diungkapkan, anak belajar huruf dengan cara mengasosiasikan kepada gambar tertentu misalnya hurup O berbentuk seperti donat. Huruf L seperti ekor. Ini pekerjaan otak kanan. Memang otak belahan ini berkembang terlebih dahulu. Otak yang mengambil peran visual. Berkembang pada puncaknya 4-7 tahun. Oleh karena dinilai belajar membaca dengan cara menggunakan gambar dan warna.
Mengandalkan otak kanan membuat anak cepat lelah dalam belajar membaca. Belajar membaca merupakan proses yang terjadi di otak kiri sama seperti belajar Matematika. Otak kiri berkembang mulai 7 tahun dan anak laki-laki lebih lambat. Bahkan ada yang usia 11 tahun baru berkembang. Ya Allah ternyata. Anak saya laki-laki semua.

Lebih lanjut artikel tersebut menyebutkan 5 tanda anak siap belajar membaca. Menunjukan minat baca, mengingat dan menceritakan kembali, peka terhadap buku dan media cetak lainnya, bermain kata-kata, dan mengenal sebagian huruf.


Sedangkan untuk membantu anak belajar  membaca, perlu ketertarikan anak terhadap buku, caranya: menunjuk kata yang ibu baca (atau siapa saja yang mendampingi), gunakan suara dan mimik lucu, tunjukan gambar cerita, biarkan anak mengulang cerita, hubungkan kisah di buku dengan kehidupan sehari-hari.
Perlu diperhatikan dalam membantu anak belajar membaca membaca: konsisten, sediakan buku, minat anak, jangan dipaksa, menyenangkan, lantang, mengganti kata, beri sanjungan.

Nah kapan anak siap belajar membaca? Menurut saya tiap anak berbeda. Penting stimulasi jauh sebelum anak lahir. Kegiatan ibu  membaca  buku anak dengan nyaring sambil mengelus perut saat hamil, saya kira kelak akan terekam dalam pikiran. Mulai bayi hingga ia tertarik bisa membaca. Itulah saat ia siap belajar membaca. Penting jangan dipaksa. Salam bahagia untuk anak-anak.