SEPATU PLASTIK
Aku, Ida, dan Lazua dalam perjalanan ke Detos. Beruntung tinggal di daerah
Jakarta hampir coret. Pepohonan
banyak. Lazua senang di ajak naik motor
tanpa khawatir menghirup udara penuh dengan CO2. Memasuki area UI ada tulisan di udara, huruf O2 terbang.
Motorku melaju
hingga pintu keluar stasiun Pondok Cina. Kami tertahan dengan kereta yang
lewat. Kalau siang tak terlihat juntaian sepatu di atas gerbong. Kalau
pagi-pagi terlihat jejeran sepatu dari terbaru hingga yang sudah lama di atas
gerbong. Sering geleng-geleng kepala. Mengapa tak sayang nyawa, badan dan sepatu.
Barangkali kalau yang jatuh sepatu bisa dibeli lagi. Kalau nyawa bagaimana?
Tiba di
parkiran belakang Detos. Langsung menuju ke tempat kumpulan gerai sepatu. Hal
yang pertama adalah mencari sepatu Lazua. Seperti biasa aku melihat-lihat dulu
dan sambil bertanya harganya. Ketika mampir di gerai pertama langsung dapat
namun harganya belum cocok. Berkeliling. Masuk ke toko yang lebih besar menuju
rak sepatu anak-anak. Harganya juga belum bersahabat. Ada diskon namun modelnya
tidak sesuai. Ada yang cocok modelnya. Namun hanya bisa menelan ludah.
Pelajaran
ekonomi waktu SD tak boleh membeli sesuatu di atas kemampuan. Lebih besar pasak
daripada tiang, tetapi kalau ilmu penjual agar mendapatkan penjualan yang besar
pasang barang yang tak bisa dibelinya. Kalau punya penghasilan besar, tidak
seperti itu juga barangkali, tergantung pribadi pembelanjanya. Kalau kualitas
sama namun ada harga yang lebih murah mengapa tidak memilih yang harganya
kompetitif. Setelah puas membandingkan model dan harga di berbagai gerai sepatu akhirnya membeli sepatu Lazua
sesuai dengan keinginan dan harga.
Tak berencana membeli sepatu
tetapi ketika lewat di deretan rak-rak sepatu. Ada yang menarik sepatu model open toe terbuat dari plastik. Ingin
beli yang asli namun harganya 3 kali lipat. Sadar diri dengan keadaan kantong
sambil berjanji pada diri sendiri bila
kantong memungkinkan ingin juga sekali-kali membeli yang asli.
Kesulitanku yang lain ukuran
kakiku tak seperti perempuan Indonesia pada umumnya. Kakiku ukurannya 42
sebelah kanan dan sebelah kiri 41. Aku mencoba
memasang kedua sepatu dan mencoba berjalan.
Jari terlihat sedikit menonjol
keluar karena ukuran kakiku Untung saja bagian depan sepatu terbuka,
sehingga membuat kakiku tak kesempitan, tak
berkeringat dan mencegah bau.
“Coba Mi..berjalan lagi.”
Ku turuti sarannya untuk merasakan kenyamanan
sepatu tersebut. Kemudian
aku mencoba
menekuk bagian belakang walau harganya murah
bagian tumitnya kaku dan tidak melengkung ketika di tekan. Sayang tidak pas kaki. Mestinya syarat sepatu yang baik
cukup longgar. Ku coba berjinjit sambil
berputar seperti penari balet di hadapan cermin yang diletakan di lantai. Lazua
memandang aku geli. Aku lihat di atas kepalanya ada tulisan Ummi kumat konyolnya. Seperti komik saja. Ada
garis lengkung ke atas di wajah Lazua. Senyum.
Sambil memegang sepatu plastik aku melirik deretan sepatu
stiletto, model ramping. Rasanya aku bermimpi bisa pakai sepatu
model seperti itu.
Kakiku cocoknya pakai sepatu model warior atau sepatu kets. Aku memperhatikan sepatu kets di rak sepatu jadi ingat dengan Dahlan Iskan yang suka menggunakan sepatu kets. Dari SMP hingga kelas 2 Aliyah tak memakai sepatu. Terbayang betapa keras kaki itu untuk menempuh cita-cita. Kaki itu punya hati baja. Semoga aku dan anak-anakku punya hati baja untuk menggapai cita-cita
Sepatu
plastik itu langsung aku pakai ketika tiba parkiran di motor lem sepatu lepas.
Tak mau berkata Triceratopsaurus. Aku lepas sepatu tersebut ku
ganti dengan sandal yang lama.
Selanjutnya kembali ke gerai sepatu.
“Mbak, ini kok lemnya lepas.” sambil kutunjukkan sambungan sepatu
yang lepas. Pelayan toko itu ramah. Ia
mulai sibuk mencari sepatu berkeliling ke gerai sepatu yang lain.Tak berapa lama ia menenteng sepatu dengan
model, ukuran dan warna yang sama.
Aku pakai lagi sepatu itu. Namun yang terjadi
lemnya lepas.
Aku minta ganti.
“Sayang bu, itu adalah stok
terakhir.”
“Ya tak gak apa-apa,
terimakasih ya mbak,” ucapku tulus karena ia telah bersusah payah mencarikan
sepatu tersebut. Aku tak sempat
mengganti
sepatu dengan model yang lain karena
buru-buru ke tempat Qowi.
“Yuk Da, kita tempat bang Qowi. Nanti
kesorean.” Ida tersenyum
melihat sepatuku yang pinggirnya terbuka.
Aku tak berkehendak dengan ukuran kakiku. Produsen saja yang tidak jeli
membaca pasar membuat ukuran sepatu yang
lebih panjang dan lebar dengan harga murah. Kalau aku produsen
sepatu bisa memiliki sepatu yang pas di
kaki dengan harga murah dan mendapatkan uang. Ada lampu neon, aku hidupkan sakelar.
Cetrek,” ujarku pura-pura menghidupkan sakelar, tanganku melepas stang. Aku berusaha
menahan keseimbangan motorku. Motor oleng ke kiri. Untung stang
bisa aku kuasai sehingga posisi motor kembali stabil.
“Breeet.” Ya Ampun sepatuku semakin lebar
terbuka. Kuinjak kencang-kencang sepatu agar tak terbuka
semakin lebar.
Lama-lama capek juga aku menginjak sepatu tersebut. Serba salah, diangkat sepatu bisa terbang. Kalau jatuh ke
aspal trus motor dibelakangku bisa olengkan tertabrak sepatuku atau tiba-tiba
ada angin, terbang
ke wajah pengendara motor di belakang. Tak ada jalan lain menginjak sepatu
dengan tabah.
Sampai di pintu gerbang Ma’had Qowi, aku
menyapa pak Satpam,“ Pak
kami mau bertemu dengan Qowi.”
Aku turun dari motor. Sepatu kananku melompat
sendiri sebentuk lengkung.
“Bruk, terhempas di tanah.” Bila digambarkan
bentuknya
Kepala lazua mengikuti gerakan sepatu bahkan
ketika sepatu terhempas ke tanah kemudian balik melompat lagi dan
akhirnya mendarat dengan sukses di dekat kaki Lazua.
“Ha ha ha,” tawa kami kompak. Beberapa
santri yang sedang duduk di depan kantin senyum-senyum.
♪♪♪
Alhamdulillah sepatu plastik itu bisa di jahit walau sepatu itu harganya
murah tetapi sangat berjasa menemaniku aku kemana-mana.
http://noura.mizan.com/index.php?fuseaction=event_det&id=195
Sumber: http://www.modecantik.com/wanita-dengan-kepribadian-pakai-sepatu/
http://noura.mizan.com/index.php?fuseaction=event_det&id=195
Sumber: http://www.modecantik.com/wanita-dengan-kepribadian-pakai-sepatu/
No comments:
Post a Comment