8/29/2015

Ikhlas dalam Beradaptasi

Sebulan ini saya dipusingkan dengan masalah anak yang sulit dalam beradaptasi. Ia baru masuk pesantren. Padahal persiapannya sudah sejak kelas 3 SD. Ketika Abangnya masuk pesantren. Saya mengatakan padanya, Insya Allah ia akan masuk pesantren juga.

Abangnya yang introvert, pemalu, cenderung menyendiri, sensitif  ketika di SD,  sukses dalam proses adaptasi terhadap teman, guru dan ritme pembelajaran  yang ketat. Mengapa ia yang ekstrovert, cenderung cuek dengan perkataan orang lain, tidak gampang menangis, asik-asik saja diajak disiplin. Kok melorot mentalnya. 

Lama-kelamaan saya ikut larut dalam alur melo tersebut. Emosi saya naik turun. Sebenarnya siapa yang tidak siap. Anak atau Ummnya? Atau dua-duanya? Saya tahu anak adalah bentukkan keluarga, lingkungan dan karakter. 


Setiap Ahad ada drama. Sebulan ini  setiap minggu boleh dibawa pulang. Setiap dikembalikan ke pesantren ia 'ngadat'. Saya mencoba memetakan masalahnya menanyakan apa saja yang membuat ia tidak mau kembali. Setiap minggu ada saja alasan yang ia kemukakan. Kami sekeluarga mencoba menolong dengan kapasitas masing-masing. Termasuk adiknya yang masih kelas 1  SD.

"Bilang saja Bang sama teman kalau tidak nyaman. Aku juga begitu kok". Sekolahnya mengajarkan mengenali diri sendiri termasuk mengenali perasaan seperti senang. marah, dan sedih. Ketika mereka mengenal dirinya mudah juga memahami kondisi teman. Dalam kondisi tertentu ia nyaman menyatakan perasaannya. Tentu  diajari dengan bahasa santun oleh gurunya.   

Puncaknya minggu kemaren. Emosi saya pecah,  lupa  tidak mempersiapkan diri menghadapi situasi anak demikian. Padahal  ketika kuliah saya pernah bertanya pada pak Jamaluddin Ancok, psikolog/dosen di UGM. Bagaimana menghadapi adik laki saya. jawab beliau adalah hadapi dengan kelembutan.  

Setelah episode puncak kemaren, alur emosi saya dan anak menurun. Anak  ketika dijenguk sudah mulai nyaman. Ia sudah bisa menjawab bila masalah muncul  misalnya bila diolok-olok botak. Jawabnya kebanyakan tentara demikian. Bila diolok fisik, semua yang ada di tubuh adalah pemberian Allah. Masak iya menghina ciptaan Allah. Bila lampu dimatikan menjelang tidur. Solusinya nanti dikubur juga gelap kok. 

Dari rangkaian masalah ini saya jadi belajar ternyata bukan anak tertentu saja yang sulit berdaptasi. saya juga terkadang sulit. Hal-hal yang dianggap sepele bagi orang lain belum tentu mudah untuk anak/orang tertentu.  Untuk anak mudah-mudahan bisa ikhlas dalam proses adaptasi. Belajar hal baru. Belajar memahami/mengenal banyak karakter  sekaligus dalam waktu yang bersamaan. 

Bila di rumah ada keluarga  bercerita untuk diminta pendapat, di pesantren ada ustaz Tentu semua masalah diserahkan pada Allah/ berdoa  mudah menghadapi dan mencari solusinya. Tujuan belajar niat karena Allah. Ikhlas. Termasuk dalam menjalani proses adaptasi. Menghadapi tantangan dan permasalahannya. Makna ikhlas melakukan amalan/proses adaptasi semata-mata karena Allah.

Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh Alam. (Al-An'am 6:162).

Ikhlas membuat tenang. Apapun yang dikatakan orang, termasuk menyepelekan. Tidak seorangpun yang menjamin hidupnya baik-baik saja. Dalam siklus kehidupan seseorang pasti ada naik dan turun. Tidak perlu berkecil hati karena bukan satu-satunya orang yang sulit beradaptasi. Bukan satu-satunya orang yang sulit belajar. Terbangkan rasa cemas dan takut ke langit. Semoga Yang Maha Pengasih merahmati. 


4 comments:

  1. Semoga nanti terbiasa di pesantren ya

    ReplyDelete
  2. lingkungan baru dan adaptasi itu memang berat ya mbak. jangankan anak2 kita aja suka kewalahan tapi kadang kita lupa cuma bisa ngomel2 sama anak :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. He he. Ujian kesabaran untuk orang tua. Kalau dibuat relax malah hasilnya berbeda. Terakhir saya sekeluarga ajak dia nonton Inside Out.

      Delete