1/31/2014

Idealisme vs Pasar Film Indonesia - Strategi dan Tantangan Bisnis ke Depan

Tulisan kedua

BLOG COMPETITION #WMExpo2014



Rasanya rugi sekali mengapa saya tidak bertanya pada para pemenang technopreneur dan para pebisnis yang ikut expo. Mereka pasti orang-orang yang  menang dalam hidupnya. Berhasil meujudkan ide dan mimpi. Walau saya bukan pebisnis pastilah nilai-nilai bisnis mereka dapat diserap. Walau rada gelo disatu sisi, sisi lain mimpi bertemu dengan Mira Lesmana terujud.



Jarang saya memilih duduk paling depan. Karena ada Mak Vemma dari Kumpulan Emak Blogger dan rugi kalau tidak fokus saat pembicara menceritakan pengalamannya saya beralih duduk. Sudah sangat lama saya kagum dengan dedikasi Mira Lesmana dalam dunia perfilman. Saya bukan penggemar film, namun ketika kecil saya sangat sering diajak Abah saya menonton film. Sangat jauh dari Jakarta di sebuah kota kecil, Binuang. Namun sarana tontonan sudah ada. Sebutlah Misbar kalau gerimis bubar. Sangat asik menonton bioskop bisa sambil memandang bintang. Jangan ditanya langit pada malam hari di sana sangat indah karena tidak tertutup polusi. Sekarang bioskop itu sudah tidak ada.


Saat ini animo masyarakat untuk menonton film di theater jauh berkurang karena sudah banyak pilihan. Namun untuk film-film Mira Lesmana membuat masyarakat yang tadinya bukan penonton mendadak datang ke theater. Seperti film fenomenal Laskar Pelangi. Saat ini masih paling tinggi dalam jumlah penonton yaitu 4,1 juta.
Saya melihat Mira berhasil menggabung idealisme dan pasar.  Banyak film yang ia dan timnya buat berhasil memukau penonton. Seperti sebuah makanan ketika dikunyah oleh penonton rasanya terbayang hingga lama.
Perempuan yang seorang produser  film ini memaparkan market film Indonesia sangat banyak. Belum semua tergarap. Masih banyak wilayah di Indonesia yang belum mempunyai theater[a1] . Ini tentu merupakan tantangan tersendiri bagi Mira untuk menyusun strategi pasar. Senjata utama adalah kreativitas.

Film merupakan bagian dari industri kreatif dibawah Menparekraf (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif). Sebuah medium populer karena penonton tersentuh di ruang tertutup. Oleh karena itu apa yang dilihat dan yang di dengar masuk ke indera kita dengan mudah. Menjadi sangat berguna untuk menjadi alat propaganda dan membangkitkan semangat nasionalisme. Seperti saat jaman perang dan juga menjelang pemilu seperti sekarang ini. Banyak tokoh-tokoh mendadak keluar dalam film.

Film juga sarana hiburan. Film-film Korea sangat menghibur dan dari sisi bisnisnya sangat maju. Negara gingseng tersebut sangat sadar film bisa menjadi devisa negara. Mereka serius menggarap hal itu. Maka terjadilah revolusi sinema. Sekolah film banyak bermunculan. Beasiswa diperbanyak. Jaringan bioskop diperluas. Ada pembinis riset besar-besaran. Film drama tidak dibuat kecil-kecilan.  Hal yang terjadi adalah film Korea booming. 
Industri film di Indonesia bisa maju apabila ada pendidikan dua arah. Selain tenaga sineas yang dibuat lebih trampil, kreatif  masyarakat juga  harus mendapatkan pendidikan film sehingga mereka tidak menonton film- film berkualitas rendah. Produser berasumsi dengan budget yang rendah saja bisa meraup keuntungan yang besar maka hal itu akan berulang terus menerus. Kapan bisa menjual ke luar bila demikian yang terjadi?Sesi Tanya Jawab
Saya sangat jarang bertanya pada sebuah forum antara lain karena takut. Saya mencoba memberanikan diri bertanya. Pertanyaan saya adalah:
Bagaimana proses pengambilan  sebuah cerita (naskah) yang akan diangkat menjadi film? Semua orang tahu Mira Lesmana dalam mengerjakan film tidak setengah-tengah dan hasilnya memang menuai sukses.
Biasanya melakukan riset kurang lebih empat bulan. Sangat jarang orang melakukan hal penting ini padahal biayanya sangat murah.
Apakah promosi besar  berpengaruh mempertahankan  sebuah film di book office?
Promosi masih sangat mempengaruhi penjualan sebuah film. Pernah untuk sebuah film saja Budget total 9 M, untuk promosinya 4 M. Sekarang diupayakan cara promosi yang kreatif dan efektif, tidak hanya pasang baliho. (Saya ingat waktu kecil iklan film yang akan diputar di misbar menggunakan beca kemudian mobil pick up berkeliling kampung, saksikanlah! Banjirilah beramai-ramai malam ini akan diputar film bla bla)
Bagaimana menghadapi kegagalan? Apakah sudah dihitung sebelumnya?
Seperti film Ge catatan seorang demonstran. Perhitungan sebelum tayang, film ini ditonton tidak akan lebih dari 30 ribu orang.  Namun dari segi cerita sangat layak untuk dibuat. Mengantisipasi kekurangan dana mencari funding sehingga menutupi budget yang dikeluarkan. Seperti melepas ke media televisi.
Sebenarnya film yang gagal bukan dari sisi kualitas melainkan dari ekonomi, tidak book office, dan tidak mendapat kritik yang baik.
Semua film ada persiapan yang cukup panjang untuk menghindari kegagalan. Sekarang sedang mempersiapkan sebuah film dengan judul Pendekar Tongkat Emas. Setting waktu sebelum abad ke 13. Setting tempat ada di Sumba.











No comments:

Post a Comment