Sudah sebulan ini anak saya belum tune in di tempat ia belajar. Sebuah pesantren di Cibinong.
Akhirnya atas saran atasan, saya memilih psikolog Seni Sinaga di Klinik Kancil untuk berkonsultasi. Sebuah klinik psikologi untuk tumbuh kembang anak, masalah remaja dan keluarga.
Awalnya saya masuk ke ruangan ibu Seni. Menceritakan kronologis masalah anak. Kemudian anak saya sendiri masuk ke ruangan. Sekitar 1-2 jam, ia menceritakan apa yang terjadi pada dirinya. Selesai sesi itu, diajak bicara bu Seni tanpa anak.
Saya tidak menyangka masalah adaptasi adalah sesuatu yang besar bagi dirinya. Mengubah kebiasaan dari rumah. Dari yang cuma lipat tangan, kipas-kipas, semua keperluannya beres jadi harus dikerjakan sendiri.
Rupanya persiapan tiga tahun sebelum masuk pesantren baru sisi kognitifnya saja yang saya siapkan. Untuk kemandiriannya belum.
Pola kehidupan pesantren yang teratur plus ketat dan porsi belajar yang banyak, membuat anak harus ekstra energi untuk beradaptasi. Perlu effort yang besar untuk berdiri tegak di lingkungan yang baru.
Masalah adaptasi juga mengenal karakter teman. Saya baru ngeh ada anak seperti anak saya pada masa adaptasi ia mengamati terlebih dahulu. Timbul kesan ia menyendiri. Anak-anak seperti ini kata ibu Seni banyak. Ada juga anak pada masa orientasi langsung bisa gabung dengan teman.
Ada juga yang kebablasan bentuknya seperti mem-bully teman. Kata anak pertama saya yang pernah pesantren memang ada saja teman yang berperilaku seperti itu. Lama kelamaan ia akan malu sendiri. Ya seiring pemahamannya tentang bab menyayangi teman tuntas.
Anak yang suka mengganggu teman justru jadi tanda tanya. Ia berbuat demikian kurang perhatian. Malah perlu konsultasi ke BP atau psikolog kalau tindakannya sudah tidak bisa ditoleran. Saya percaya pihak pesantren sudah mempunyai trik menghadapi anak seperti ini.
Tugas saya sebagai ibu yang mendapatkan paket anak mengalami trauma mencari jalan keluar agar ia bisa bangkit. Mengajarinya menyalurkan uneg-uneg agar tidak histeris karena bingung ketika mendapatkan masalah. Versi anak saya kesurupan. Analisa psikolog ia mengalami histeris.
Hari ini saya bisa bersyukur upaya mendampingi anak dalam menghadapi masalahnya bisa terbantu oleh orang yang mempunyai ilmu. Tentang senyum-senyum sendiri yang dipandang aneh temannya. Bagi kami biasa karena ia suka membaca dan menonton yang lucu-lucu. Hal yang biasa bagi kami belum tentu lumrah bagi orang/ anak lain.
Hal itu diamini bu Seni. Anak saya dalam kondisi berimajinasi. Karena waktu kecil ia terlambat bicara kemudian ia juga merasa bentuk tulisan tangan jelek/ada fase perkembangan motorik halusnya tidak terpenuhi. Makanya ia minder menuangkan. Bahkan ketika disuruh menggambar awalnya ia tidak mau.. Akhirnya ia memilih verbal untuk mengungkapkan imajinasinya. Ya betul ia sering melucu di rumah. Waktu TK saat sudah bisa bicara bukannya saya mendongeng/bercerita tetapi ia yang bercerita. Solusi diberikan buku diary agar ia menuangkan imajinasinya.
Kangen sekali dengan keceriannya. Kangen dengan cerita lucunya. Mudahan ia mampu mengatasi persoalan-persoalan pribadinya dan segera bisa beradaptasi.
Allah mengkaruniai manusia dengan tameng sabar syukur ikhlas terhadap masalah. Semoga anak dan teman-temannya solid. Untuk dikatakan kuat bukan dengan cara melemahkan orang lain tetapi dengan cara mengkuatkan orang lain. Itu yang saya dapat tentang mem-bully.