9/17/2012

Plak


17 September   Wedding Anniversary

 Plak

             Kalau diukur dengan bangku pendidikan, perkawinan kita sudah kuliah sayang.  Usia dewasa ya. Aku ingat ketika kita lahir dengan saling menggenggam tangan , tengkurap, merangkak bersama,  aih lucunya ya kita sering bersemu merah. Mulai berjalan yang kadang jatuh tetapi kita tak berhenti untuk mencoba terus berjalan.
              Ketika usia TK, aku masih saja menganggap kau itu bonekaku tak boleh seorangpun meminjamnya walau itu hanya meminjam tak ada yang lainnya. Kadang-kadang kau seperti ayahku karena aku masih suka digendong. Jelas saja karena badanku masih seperti papan penggilasan. Tipis Bo.
         Usia SD, aku masih saja kekanakan, engkau tak boleh sedikitpun dicolek orang lain kadang kau berkelana karena tugasmu. Aku hanya bisa titip pada Allah, kau milik-Nya.
“Jaga kekasihku ya Allah,” pintaku pada Allah.
Hatiku masih jugaTK, tak bisa memanajemen qalbu. Selalu saja, hmm kira-kira kamu disana tergoda gak ya? Selalu begitu dalam pikiranku.
Ketika kita dititipkan seorang Qowi, kau ikut sibuk. Sejak aku hamil membujuk aku minum susu, mencarikan keinginan ngidamku, walau malam-malam kau jalani. Walau kemudian aku muntahkan kau tetap sabar.
Usia SMP, kau malah jauuuh meninggalkan aku ke kampung sakura, sementara aku mulai dunk lagi. Tak berat menurutku, karena tiap malam kau sempatkan telpon atau chatting via Yahoo. Aku tahu kau lelah bekerja namun kau sempatkan sekadar berkata “Hai.” Dan… aku konyol  memperlihatkan perutku yang seperti balon di webcam. Kebiasaan kau pada anak pertama bicara langsung sambil mengusap perutku. Lalu kau bicara dengan Sholeh, nama Qowi ketika dalam perut. Azra dalam perut hanya di ajak bicara lewat telpon, usaha kita tak sia-sia walau lahir tak melihat dirimu, Azra saat kau datang usianya 7 bulan langsung memelukmu. Tak ada kecanggungan. Tak ada tangisan karena ia sudah mengenal dirimu sejak dalam perut .
Usia SMA, kau pergi ke tempat tanah Matoa. Padahal aku lagi dunk juga. Seperti biasa aku melambai tangan dengan senyum. Walau hatiku masih saja seperti anak-anak. Buruk sangka tak mau ditinggal. Jadinya aku buruk rupa ya sayang, gara-gara itu. Kau tetap sabar memarahiku. Ha ha ha. Sabar kok marah. Iya karena katamu aku tak boleh berburuk sangka. Hati kita itu harus bersih.
Menginjak bangku kuliah, hatiku langsung kuliah. Aku heran bisa melompat seperti itu. Tentu karena Allah yang Maha Penyayang itu aku langsung masuk kelas akselerasi dari TK langsung kuliah. Aku tak sombong sayang, Seperti katamu kita tak boleh sombong. Aku hanya ingin bercerita kabar gembira  ini, bukan aku yang mampu tetapi Allah yang kun fayakun. Tentu saja selama manusia hidup akan diuji oleh Allah. Kalau tak mampu mungkin saja aku turun kelas lagi. Naudzubillahi mindzalik, ya sayang.
Plak. Serasa dipukul wajahku. Ayoo bangun   hari ini sudah tahun ke 20 hati kita  saling menggenggam.
Pertama, aku bersyukur tak sekalipun tanganmu melayang ke wajahku, seperti harapanku awal menikah, diam-diam itu aku tanyakan pada orang sekelilingmu, tentang karaktermu.
Kedua, kau tetap tak mau mengotori paru-paru aku dan anak-anak dengan asap putih seperti kriteria aku mencari pasangan hidupku, aku tak mau menikah dengan orang penghisap benda itu. Kataku orang seperti itu tak sayang pada dirinya dan keluarganya. Jangan marah sama aku ya pemilik dan pekerja pabrik rokok, pleaaase.
Ketiga, kau mau berbagi tugas menimang, bercerita, memakaikan baju kadang-kadang  untuk anak-anak kita, dan kaupun dipuji sama Lazua susu bikinanmu enak. Kataku anak-anak yang dekat dengan ayah dan ibunya akan seimbang jiwanya. Tak ada yang sia-sia kau lakukan itu sayang, mereka akan mengukir wajahmu di hati mereka hingga mereka tua kelak. Mudah-mudahan saja itu menular pada mereka.
Keempat, kau tak pernah lelah membimbing aku, menunjukkan kesalahanku, dulu aku marah dan sedih. Kini tidak lagi. Oh yaaa, amarahmu itu untuk kebaikanku. Untuk kemajuanku. Maaf aku sudah salah sangka. Aku kira karena kau mengenal  orang lain yang lebih baik daripada aku. Aduh pipiku warnanya apa ya, menahan malu.
Kelima, Kini aku mengerti tentang persahabatan dan privasi. Mungkin dulu kau jengah dikit-dikit aku telpon. Kinii pasti kamu kangen dengan kebiasaanku itu kan? “Ih gak banget,” kata Azra.
Angka seterusnya tak mau aku sebutkan nanti kamu kegeeran. Walah istri yang aneh tak mau suaminya geer. Nggak ya sayang aku becanda, aku suka bikin kamu ge-er karena aku melihat jutaan mawar di sorot matamu. Ha ha gombal habis ya.

No comments:

Post a Comment