Umur wanita itu sudah genap 30 tahun. Ia diturunkan suami dibilangan
Blok M. Karena berbeda arah. Ia bekerja di Gandaria. Perjalanan ia lanjutkan menggunakan
bus kota. Saat naik bus derai tangis
dari langit seolah latah. Ya dada Nei sakit bukan kepalang. Dibilang Mika tidak
mau mengalah. Apa artinya penantian bertahun-tahun dengan kesabaran.
Atau Mika sudah bertemu sesorang sehingga ia tidak sabar menunggu buah
hati itu. Keluar dari perut Nei. Hai Mika bukan Nei tidak mau mempunyai momongan.
Bukan. Pekerjaan ini sangat berarti bagi
diri Nei. Kelak untuk bayi juga.
Nei menatap jendela bus yang mulai dibasahi titik air. Mengaburkan
pandangan. Apakah mata hati Nei kabur seperti jendela itu. Sehingga tidak bisa melihat
masalah dengan jelas. Ya Allah, jaman sekarang masihkah seorang perempuan
tinggal di rumah demi anak-anaknya?
Mengapa isu ini menerpa rumah tangga sekarang. Empat tahun adalah waktu
penantian yang panjang untuk menanti tangisan bayi. Mestinya otot kesabaran
sudah terlatih untuk tetap kuat. Mengapa sekarang tiba-tiba Mika menuntut Nei
berhenti bekerja?
Lamunan Nei berhenti ketika melintas di jalan Barito deretan penjual satwa
burung. Kicauan burung di tengah derai hujan. Membuat hatinya sejuk. Tetapi
belum bisa menepis perkataan Mika. Lelaki bertubuh besar itu kini hatinya tidak
sebesar otot tendonnya.
Nyeri di dada Nei mulai menyerang. Hujan di langit seolah menusuk jiwanya
yang bingung. Tidak ada momongan toh hidup mereka sudah berbahagia. Mengapa harus dipusingkan oleh ketetapan Allah.
Bukankah mereka sudah pasrah dengan kehendak Alah.
Empat bulan yang lalu Nei keguguran. Mika sudah wanti-wanti agar Nei tidak
lelah karena dua bulan lagi akan mulai
program kehamilan. Dokter Yunita saja
tidak menyarankan ia berhenti bekerja. Mengapa Mika yang sibuk.
Atau ini hanya alasan Mika untuk mencari gara-gara agar berpisah dengan
Nei. Pikiran buruk menyergap. Suuzonnya belum juga sembuh. Mika tahu Nei tidak
akan bisa berhenti bekerja. Pekerjaannya keliling Indonesia tidak mungkin ia
tinggalkan.
Masuk keluar kampung di pelosok Indonesa adalah bagian dari darah dagingnya
bertahun-tahun sebelum ia menikah dengan Mika. Ia sudah tahu konsekuensinya bila menikah dengan Nei. Tidak terasa Gandaria sudah menyapa mata. Wangi tanah sehabis hujan menyergap
hidung. Nei turun dari bus kota. Kepalanya terasa berputar. Ia hampir saja
terjatuh. Untung kernet bus sigap menahan tubuh Nei. Ia didudukan ke sebuah
bangku. Nei tidak lupa mengucapkan terima kasih pada sang kernet. Di tengah
keras Jakarta masih banyak orang sabar dan mau menolong.
Kini ia duduk di samping Gerobak manisan Jambu. Jarang-jarang ada orang
yang berjualan manisan di pinggir jalan. Tentu ada aturan berjualan di pinggir
jalan.
Nei meraba bagian rok belakangnya, bangku basah. Payung lebar penjual, tidak sanggup menutupi hingga area ini. Nei celingukan mencari penjual. Hujan
membuat penjual menyingkir. Tampaknya ada hujan disertai angin kencang.
Terbukti banyak reranting berserakan. Bergidik Nei membayangkan ranting besar
mengenai seseorang.
Hari masih pagi penjual manisan ini sudah berjualan. Strategi marketing
yang ajaib. Apakah beliau penganut ilmu berpagi-paginya burung? Atau penganut
food combining. Nei geli, memang dirinya? Kalau FC kok manisan?
Malu-malu sinar matahari menebus daun-daun. Nei belum beranjak dari
bangkunya. Telinganya diriuhkan anak-anak berlari. Wajah anak sekitar dua dan empat tahun itu
bersih. Baju mereka yang sederhana juga
bersih. Terlihat sang ibu telaten. Anak-anak seusia ini kan pasti main yang
kotor-kotor.
Bersambung...
Yaaa..bersambung :D
ReplyDeleteLanjuuuutin mbak
Tunggu...masih banyak PR
DeleteMF sih yang asli aja ya mak gak bentuk manisan
ReplyDeleteApa MF Mak Lid?
ReplyDeleteMak Lid, ditanyain Mak Sapta tuh, mungkin maksud Mak Lid adalah FC, dan mungkin Mak Lid lelah hehe, kapan komen tentang cerpennya ini? abis bersambung sih, Mak, bikin penasaran aja.
ReplyDeletemasih meluruskan otot betis soalnya baru dari Kalimanan Selatan
Delete