17 September Wedding Anniversary
Plak
Kalau diukur dengan bangku pendidikan,
perkawinan kita sudah kuliah sayang. Usia dewasa ya. Aku ingat ketika kita lahir
dengan saling menggenggam tangan , tengkurap, merangkak bersama, aih lucunya ya kita sering bersemu merah. Mulai
berjalan yang kadang jatuh tetapi kita tak berhenti untuk mencoba terus
berjalan.
Ketika usia TK, aku
masih saja menganggap kau itu bonekaku tak boleh seorangpun meminjamnya walau
itu hanya meminjam tak ada yang lainnya. Kadang-kadang kau seperti ayahku
karena aku masih suka digendong. Jelas saja karena badanku masih seperti papan
penggilasan. Tipis Bo.
Usia SD, aku masih
saja kekanakan, engkau tak boleh sedikitpun dicolek orang lain kadang kau
berkelana karena tugasmu. Aku hanya bisa titip pada Allah, kau milik-Nya.
“Jaga kekasihku ya Allah,” pintaku pada Allah.
Hatiku masih jugaTK, tak bisa memanajemen qalbu.
Selalu saja, hmm kira-kira kamu disana tergoda gak ya? Selalu begitu dalam
pikiranku.
Ketika kita dititipkan seorang Qowi, kau ikut
sibuk. Sejak aku hamil membujuk aku minum susu, mencarikan keinginan ngidamku,
walau malam-malam kau jalani. Walau kemudian aku muntahkan kau tetap sabar.
Usia SMP, kau malah jauuuh meninggalkan aku ke kampung
sakura, sementara aku mulai dunk lagi.
Tak berat menurutku, karena tiap malam kau sempatkan telpon atau chatting via Yahoo. Aku tahu kau lelah
bekerja namun kau sempatkan sekadar berkata “Hai.” Dan… aku konyol memperlihatkan perutku yang seperti balon di
webcam. Kebiasaan kau pada anak pertama bicara langsung sambil mengusap
perutku. Lalu kau bicara dengan Sholeh, nama Qowi ketika dalam perut. Azra dalam perut hanya di ajak bicara lewat telpon, usaha kita tak sia-sia walau lahir tak melihat dirimu, Azra saat kau datang usianya 7 bulan langsung memelukmu. Tak ada kecanggungan. Tak ada tangisan karena ia sudah mengenal dirimu sejak dalam perut .
Usia SMA, kau pergi ke tempat tanah Matoa. Padahal
aku lagi dunk juga. Seperti biasa aku melambai tangan dengan senyum. Walau hatiku
masih saja seperti anak-anak. Buruk sangka tak mau ditinggal. Jadinya aku buruk
rupa ya sayang, gara-gara itu. Kau tetap sabar memarahiku. Ha ha ha. Sabar kok
marah. Iya karena katamu aku tak boleh berburuk sangka. Hati kita itu harus bersih.
Menginjak bangku kuliah, hatiku langsung kuliah.
Aku heran bisa melompat seperti itu. Tentu karena Allah yang Maha Penyayang itu
aku langsung masuk kelas akselerasi dari TK langsung kuliah. Aku tak sombong
sayang, Seperti katamu kita tak boleh sombong. Aku hanya ingin bercerita kabar
gembira ini, bukan aku yang mampu tetapi
Allah yang kun fayakun. Tentu saja selama manusia hidup akan diuji oleh
Allah. Kalau tak mampu mungkin saja aku turun kelas lagi. Naudzubillahi
mindzalik, ya sayang.
Plak. Serasa dipukul wajahku. Ayoo bangun hari ini sudah tahun ke 20 hati kita saling menggenggam.
Pertama, aku bersyukur tak sekalipun tanganmu melayang ke
wajahku, seperti harapanku awal menikah, diam-diam itu aku tanyakan pada orang
sekelilingmu, tentang karaktermu.
Kedua, kau tetap tak mau mengotori paru-paru aku
dan anak-anak dengan asap putih seperti kriteria aku mencari pasangan hidupku, aku tak mau
menikah dengan orang penghisap benda itu. Kataku orang seperti itu tak sayang
pada dirinya dan keluarganya. Jangan marah sama aku ya pemilik dan pekerja pabrik
rokok, pleaaase.
Ketiga, kau mau berbagi tugas menimang, bercerita,
memakaikan baju kadang-kadang untuk
anak-anak kita, dan kaupun dipuji sama Lazua susu bikinanmu enak. Kataku
anak-anak yang dekat dengan ayah dan ibunya akan seimbang jiwanya. Tak ada yang
sia-sia kau lakukan itu sayang, mereka akan mengukir wajahmu di hati mereka
hingga mereka tua kelak. Mudah-mudahan saja itu menular pada mereka.
Keempat, kau tak pernah lelah membimbing aku,
menunjukkan kesalahanku, dulu aku marah dan sedih. Kini tidak lagi. Oh
yaaa, amarahmu itu untuk kebaikanku. Untuk kemajuanku. Maaf aku sudah salah
sangka. Aku kira karena kau mengenal orang lain yang lebih baik daripada aku. Aduh
pipiku warnanya apa ya, menahan malu.
Kelima, Kini aku mengerti tentang persahabatan dan
privasi. Mungkin dulu kau jengah dikit-dikit aku telpon. Kinii pasti kamu
kangen dengan kebiasaanku itu kan? “Ih gak banget,” kata Azra.
Angka seterusnya
tak mau aku sebutkan nanti kamu kegeeran. Walah istri yang aneh tak mau
suaminya geer. Nggak ya sayang aku becanda, aku suka bikin kamu ge-er karena
aku melihat jutaan mawar di sorot matamu. Ha ha gombal habis ya.