10/13/2012

TAK ADA MENJADI ADA KARENA IKHLAS





Aku mengenalnya dari kecil karena ia saudara misan. Aku suka sekali dengan tulisannya. Bukan tulisan  fiksi atau non fiksi. Namun memang coretan tangannya di kertas. Bentuk tulisannya memang bagus (grafalogi). 
“Coba cari orang makan,” katanya. Aku masih kelas 2 SD, celingukan mencari tulisan orang makan di dinding teras samping rumahnya. Sebelumnya kami bermain mencari tulisan-tulisan yang ada di dinding. Lama aku mencari tidak juga menemukan.
Ih ternyata aku dikerjain. Dia memang sedang makan. “Nih dia orang makan.” Itu pelajaran pertama tentang berpikir kreatif dan fokus.
Ia sering menggoda aku. Suka mengejek aku. Tetapi aku tak marah karena ia lucu. Ia juga tegas. Aku tak mau mengatakan dirinya keras. Sejak kecil ia sudah yatim. Ketika lulus SMA zulak (bahasa Banjar: bude) meninggal karena kanker rahim. Kakak berpindah-pindah tinggalnya kadang di rumah, kadang tempat neneknya pihak bapaknya.
Tetapi aku tak pernah melihat ia menangis. Ketika aku SMA ia menikah. Senang melihat ia bahagia.  Then aku lompat ke Yogya untuk kuliah, lama tak berbincang. Ia sudah dikaruniai tiga orang peri cantik.
Permasalahannya cukup keluarga yang tahu. Ia ingin berpisah dengan suaminya. Aku pengikut aliran “jangan cepat menyerah” menyayangkan keinginannya itu. Kenapa? “Coba bayangkan Kak kalau suami kakak sukses, tidak akan menyesal nanti.  Bagaimana dengan anak-anak ikut dengan siapa?”
“Tidak apa-apa. Itu rejeki anak-anak kalau ayahnya berhasil." 
"Kakak coba berpikir ulang deh." Aku mencoba membujuknya. Bukan air saja isi ulang (zaman sekarang), pikiran kita bisa isi ulang  juga kan? Keputusannya sudah bulat. Aku hanya ingin membuka pikiran dan mencoba mengajaknya berpikir lebih jernih. Sebab amarah tak bisa menyelesaikan masalah. 

Namun usaha aku untuk membuka pikirannya mengalami jalan buntu. Sedih. Apalagi melihat anak-anaknya masih kecil. Kakak ingin bekerja di Yogya. Aku tak ingin merendahkan lulusan SMA, “Kak dengan ijasah SMA, sulit untuk bekerja.”
Kebetulan keluarga dari pihak ayahnya ada di LN.  Aku menyarankan ia hijrah ke LN, Anak-anak dijaga oleh keluarga. Sekarang kurang lebih 17 tahun  peristiwa itu berlalu secara materi ia mempunyai beberapa rumah. Anak-anaknya tumbuh dengan semangat.
Ceritanya yang perlu digarisbawahi: dulu ia berpindah-pindah  karena tak punya rumah. Sekarang Ia pindah-pindah rumah karena ia memiliki beberapa rumah.
Ketika anak pertamanya menikah, suaminya datang sebagai pedamping. Ada keharuan yang menyeruak. Sang Ibu begitu tulus menerima peran sang Ayah. Saat-saat terakhir anak perempuan menjadi tanggung jawab Ayah adalah ucapan akad nikah.
Kakak menjalani hidupnya dengan ikhlas, dari kecil sudah sulit hidupnya, namun ia tetap tegar dan legowo. 


Tulisan ini diikutsertakan pada Lovely Little Garden's First Give Away  dengan mengarah ke link

No comments:

Post a Comment