Ini kisah nyata tetapi beliau tidak mau disebut nama.
Perjuangan hidup
Perempuan tersebut masih terlalu muda ketika suaminya meninggal. Anak pertama masih sekolah SD dan yang kedua masih balita. Sementara di rumah ada dua orang lagi yang menjadi tanggungan. Ada ibu dan ada keponakan. Beliau tidak lulus SD namun harus membiayai sekolah sang keponakan di SMEA.
Pekerjaaan yang ditekuni adalah berjualan. Hampir 20 jam beliau pergunakan untuk aktivitas ini. Pagi buta saat orang masih memeluk bantal atau bertafakur, beliau sudah memasak nasi uduk dan lontong sayur.
Tiba di rumah harus menata sayuran di warung sederhana depan rumah peninggalan orang tua, sedang rumah sendiri harus dijual ketika operasi usus buntu. Bila sayuran tidak habis, diolah menjadi gado-gado kemudian siangnya berjualan masakan tersebut. Seperti juga sayuran, gado-gado kadang dibagi begitu saja pada orang apalagi orang tersebut sudah tua.
Beliau gampang terenyuh. Hampir tiap hari ada seorang peminta renta bertandang di warung gado-gado. Ketika dibagi makanan atau hanya minuman, ia berdoa," Terima kasih, biar anak-anaknya pinter dan neng bisa mengurusi anak-anak hingga dewasa.
Dari dulu hingga sekarang beliau mengingatkan pada peminta jangan mengucap terima kasih tetapi Alhamdulillah. Agar semua yang diberi dan memberi mendapatkan keberkahan hidup.
Bila Ramadhan tiba, pada sore hari beliau menjual makanan khas berbuka. Hal yang sama dilakukan bila ada orang yang membutuhkan, beliau bagi begitu saja. Bulan Ramadhan bulan berbagi dibalas oleh Allah segala amal dengan keberkahan berlipat ganda.
Berkah Berbagi
Dua anak perempuan beliau kini sudah mapan. Sudah mampu berbagi keberkahan hidup dengan ibu. Potret perempuan Betawi yang cerdas, tangguh dan sukses. Saat usia sekolah mereka tidak malu dengan kondisi ibu demikian. Semangat belajar mereka tinggi. Anak pertama sekolah di SMP 41, SMA 28, dan kuliah di STAN. Anak kedua SMP 131, SMA 28 dan kuliah di UI.
Ketika mereka kecil, beliau sendiri yang mengajari mengaji dan membaca. Beliau menstimulan anak-anak dengan cara menempel poster huruf-huruf di dinding.
Nasihat beliau pada anak-anak, "Mama dulu tidak sekolah. Kalian harus pinter. Semoga kalian tidak seperti Mama, yang harus bekerja hampir satu hari penuh."
Menyambung cerita perjuangan hidup beliau diatas. Ya, beliau setelah jual gado-gado, sorenya berjualan mie rebus hingga tengah malam. Itupun kadang tidak mencukupi kebutuhan orang serumah.
Pernah meminta sepatu pada ipar untuk anak pertama yang baru masuk SMP. Pertama kali datang jawabannya datang pada hari lain. Kembali ke rumah tersebut pada hari yang dijanjikan wajah ncang ditekuk. ucapan yang terngiang hingga sekarang adalah tidak ada uang padahal baru mendapat rejeki dari gusuran.
Ada tetes kepedihan dimata dan dihati. Sepanjang gang keluar yang panjang sambil mengendong anak yang kecil dan menuntun anak yang lain.
"Mama, saya mau memakai sepatu SD saja, masih bisa pakai."
Ada segaris luka namun sang ibu tetap berjiwa besar, "Nak, kelak bila kau dewasa dan mampu, jangan balas dengan kejelekan serupa. Tetaplah berbagi."
Beliau tidak pernah kembali lagi ke rumah tersebut hingga anak-anak dewasa. Saat anak-anak sudah bisa berbagi beliau mengajak silaturahim.
Keterbatasan tidak membuat beliau enggan berbagi walau hanya segelas minuman. Pasti untuk orang yang dahaga sangatlah berarti. Berbagi air minum konsisten beliau lakukan pada peminta, tukang payung, tukang sepatu, dan lain-lain apabila memang kebetulan mampir di rumah beliau.
Kini beliau menikmati hidup dengan berbagi ilmu pada anak-anak TPA dan ibu-ibu yang mayoritas suaminya pemulung di Masjid dekat rumah. Serta tak henti belajar Qur'an. Pada awal setengah abad umur beliau, baru intens belajar tahsin. Sekarang hapal Quran hampir 2 juz dengan tajwid yang benar. Tilawah rata-rata 3 juz di bulan Ramadhan dan bulan biasa 1-2 juz membuat iri bagi yang belum bisa komit untuk itu.
Pekerjaaan yang ditekuni adalah berjualan. Hampir 20 jam beliau pergunakan untuk aktivitas ini. Pagi buta saat orang masih memeluk bantal atau bertafakur, beliau sudah memasak nasi uduk dan lontong sayur.
Selesai memasak bergegas ke Pasar Minggu. Beliau harus menyusuri jalan sepi. Wilayah Jagakarsa tiga puluh tahun yang lalu tidak sepadat dan seramai sekarang. Kadang perih menggayut, saat hujan datang harus berjibaku dengan becek dan udara yang menggigit. Apalagi saat orang khusu' bersyukur pada Allah, beliau masih memegang sayuran di angkot. Waktu Subuh terlewat begitu saja. Jangan ditanya bagaimana rasanya meninggalkan kewajiban tersebut.
Tiba di rumah harus menata sayuran di warung sederhana depan rumah peninggalan orang tua, sedang rumah sendiri harus dijual ketika operasi usus buntu. Bila sayuran tidak habis, diolah menjadi gado-gado kemudian siangnya berjualan masakan tersebut. Seperti juga sayuran, gado-gado kadang dibagi begitu saja pada orang apalagi orang tersebut sudah tua.
Beliau gampang terenyuh. Hampir tiap hari ada seorang peminta renta bertandang di warung gado-gado. Ketika dibagi makanan atau hanya minuman, ia berdoa," Terima kasih, biar anak-anaknya pinter dan neng bisa mengurusi anak-anak hingga dewasa.
Dari dulu hingga sekarang beliau mengingatkan pada peminta jangan mengucap terima kasih tetapi Alhamdulillah. Agar semua yang diberi dan memberi mendapatkan keberkahan hidup.
Bila Ramadhan tiba, pada sore hari beliau menjual makanan khas berbuka. Hal yang sama dilakukan bila ada orang yang membutuhkan, beliau bagi begitu saja. Bulan Ramadhan bulan berbagi dibalas oleh Allah segala amal dengan keberkahan berlipat ganda.
Berkah Berbagi
Dua anak perempuan beliau kini sudah mapan. Sudah mampu berbagi keberkahan hidup dengan ibu. Potret perempuan Betawi yang cerdas, tangguh dan sukses. Saat usia sekolah mereka tidak malu dengan kondisi ibu demikian. Semangat belajar mereka tinggi. Anak pertama sekolah di SMP 41, SMA 28, dan kuliah di STAN. Anak kedua SMP 131, SMA 28 dan kuliah di UI.
Ketika mereka kecil, beliau sendiri yang mengajari mengaji dan membaca. Beliau menstimulan anak-anak dengan cara menempel poster huruf-huruf di dinding.
Nasihat beliau pada anak-anak, "Mama dulu tidak sekolah. Kalian harus pinter. Semoga kalian tidak seperti Mama, yang harus bekerja hampir satu hari penuh."
Menyambung cerita perjuangan hidup beliau diatas. Ya, beliau setelah jual gado-gado, sorenya berjualan mie rebus hingga tengah malam. Itupun kadang tidak mencukupi kebutuhan orang serumah.
Pernah meminta sepatu pada ipar untuk anak pertama yang baru masuk SMP. Pertama kali datang jawabannya datang pada hari lain. Kembali ke rumah tersebut pada hari yang dijanjikan wajah ncang ditekuk. ucapan yang terngiang hingga sekarang adalah tidak ada uang padahal baru mendapat rejeki dari gusuran.
Ada tetes kepedihan dimata dan dihati. Sepanjang gang keluar yang panjang sambil mengendong anak yang kecil dan menuntun anak yang lain.
"Mama, saya mau memakai sepatu SD saja, masih bisa pakai."
Ada segaris luka namun sang ibu tetap berjiwa besar, "Nak, kelak bila kau dewasa dan mampu, jangan balas dengan kejelekan serupa. Tetaplah berbagi."
Beliau tidak pernah kembali lagi ke rumah tersebut hingga anak-anak dewasa. Saat anak-anak sudah bisa berbagi beliau mengajak silaturahim.
Keterbatasan tidak membuat beliau enggan berbagi walau hanya segelas minuman. Pasti untuk orang yang dahaga sangatlah berarti. Berbagi air minum konsisten beliau lakukan pada peminta, tukang payung, tukang sepatu, dan lain-lain apabila memang kebetulan mampir di rumah beliau.
Kini beliau menikmati hidup dengan berbagi ilmu pada anak-anak TPA dan ibu-ibu yang mayoritas suaminya pemulung di Masjid dekat rumah. Serta tak henti belajar Qur'an. Pada awal setengah abad umur beliau, baru intens belajar tahsin. Sekarang hapal Quran hampir 2 juz dengan tajwid yang benar. Tilawah rata-rata 3 juz di bulan Ramadhan dan bulan biasa 1-2 juz membuat iri bagi yang belum bisa komit untuk itu.
Assalamu'alaikum...
ReplyDeleteTerima kasih sudah berbagi cerita inspiratif ini, ya!
Good luck! ^_^
Emak Gaoel
Sama-sama Mak @Winda
Delete